Nuklir untuk Dokter
Pemanfaatan teknik nuklir dalam bidang kedokteran mempunyai lingkup yang luas. Tidak terbatas pada kedokteran
nuklir dan radiologi saja, melainkan juga meliputi penentuan kandungan mineral tubuh dengan teknik pengaktifan
neutron serta teknik fluoresensi sinar-X baik secara in vitro maupun in vivo, pemakaian radioisotop sebagai
perunut dalam farmakologi dan biokimia, dll. Teknik nuklir menawarkan kemudahan dan kemungkinan yang luas baik bagi dunia pelayanan
maupun penelitian dalam kedokteran. Pengembangan metoda diagnostik maupun terapetik dengan menggunakan
antibodi monoklonal yang ditandai dengan radioisotop tak pelak lagi akan sangat besar peranannya dalam
penanggulangan penyakit di masa depan.
Aplikasi teknik nuklir dalam bidang kedokteran di Indonesia telah dimulai sejak akhir tahun enam puluhan, setelah reaktor atom Indonesia yang pertama mulai beroperasi di Bandung. Beberapa tenaga ahli Indonesia dibantu oleh ahli dari luar negeri mulai merintis pendirian suatu unit kedokteran nuklir di Pusat Reaktor Atom Bandung (kini bernama Pusat Penelitian Teknik Nuklir), salah satu Pusat Penelitian di lingkungan Badan Tenaga Atom Nasional. Unit ini merupakan cikal bakal Unit Kedokteran Nuklir RSU Hasan Sadikin/ Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran. Dewasa ini di Indonesia terdapat 15 Rumah Sakit (3 di antaranya di luar Jawa) yang dilengkapi dengan unit Kedokteran Nuklir.
Ilmu Kedokteran Nuklir adalah cabang ilmu kedokteran yang menggunakan sumber radiasi terbuka berasal dari inti radionuklida buatan untuk mempelajari perubahan fisiologik dan biokimia sehingga dapat digunakan untuk tujuan diagnostik, terapi, dan penelitian (World Health Organization).
Pada kegiatan kedokteran nuklir untuk keperluan diagnostik, radioisotop dapat dimasukkan ke dalam tubuh pasien secara inhalasi melalui jalan pernafasan, atau melalui mulut, ataupun melalui injeksi (studi in vivo). Di samping itu dapat pula radioisotop hanya direaksikan dengan bahan biologik (darah, urine, cairan serebrospinal, dsb.) yang diambil dari tubuh pasien (studi in vitro). Pada studi in vivo, setelah dimasukkan ke dalam tubuh maka nasib radioisotop selanjutnya di dalam tubuh dapat diperiksa dengan :
Informasi yang diperoleh dengan teknik
pencitraan tersebut di samping berupa gambar organ atau bagian tubuh atau bahkan
seluruh tubuh (whole body imaging), juga
dapat berupa kurva-kurva atau angka-angka.
Sedang studi in vivo dengan teknik "external
counting" atau "sample counting" hanya dapat
memberikan informasi berupa kurva atau
angka. Informasi tersebut mencerminkan fungsi
organ atau bagian tubuh yang diperiksa.
Studi in vivo dapat bersifat statik atau
dinamik. Statik artinya memberikan informasi
pada suatu saat tertentu saja, sedang studi dinamik memberikan informasi berupa
perubahan keadaan pada organ atau bagian
tubuh selama kurun waktu tertentu. Studi
dinamik mengukur kinerja (performance) suatu
organ atau suatu sistem tubuh menurut fungsi
waktu. Variabel yang diukur dapat berupa
jumlah dan distribusi perunut radioaktif
(variable kuantitatif). Dengan bantuan
komputer, dari variabel tersebut dapat
diperoleh informasi lain seperti laju
pengurangan kuantitas perunut, retensi perunut
dalam organ, pola gerak organ (misalnya
cardiac wall motion), dsb.
Aplikasi teknik nuklir dalam bidang kedokteran di Indonesia telah dimulai sejak akhir tahun enam puluhan, setelah reaktor atom Indonesia yang pertama mulai beroperasi di Bandung. Beberapa tenaga ahli Indonesia dibantu oleh ahli dari luar negeri mulai merintis pendirian suatu unit kedokteran nuklir di Pusat Reaktor Atom Bandung (kini bernama Pusat Penelitian Teknik Nuklir), salah satu Pusat Penelitian di lingkungan Badan Tenaga Atom Nasional. Unit ini merupakan cikal bakal Unit Kedokteran Nuklir RSU Hasan Sadikin/ Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran. Dewasa ini di Indonesia terdapat 15 Rumah Sakit (3 di antaranya di luar Jawa) yang dilengkapi dengan unit Kedokteran Nuklir.
Ilmu Kedokteran Nuklir adalah cabang ilmu kedokteran yang menggunakan sumber radiasi terbuka berasal dari inti radionuklida buatan untuk mempelajari perubahan fisiologik dan biokimia sehingga dapat digunakan untuk tujuan diagnostik, terapi, dan penelitian (World Health Organization).
Pada kegiatan kedokteran nuklir untuk keperluan diagnostik, radioisotop dapat dimasukkan ke dalam tubuh pasien secara inhalasi melalui jalan pernafasan, atau melalui mulut, ataupun melalui injeksi (studi in vivo). Di samping itu dapat pula radioisotop hanya direaksikan dengan bahan biologik (darah, urine, cairan serebrospinal, dsb.) yang diambil dari tubuh pasien (studi in vitro). Pada studi in vivo, setelah dimasukkan ke dalam tubuh maka nasib radioisotop selanjutnya di dalam tubuh dapat diperiksa dengan :
- Membuat citra (gambar) organ atau bagian tubuh yang mengakumulasikan radioisotop tersebut dengan peralatan kamera gamma atau kamera positron (imaging technique)
- Menghitung aktivitas yang terdapat pada organ atau bagian tubuh yang mengakumulasikan radiosiotop dengan menempatkan detektor radiasi gamma di atas organ atau bagian tubuh yang diperiksa (external counting technique)
- Menghitung aktivitas radioisotop yang terdapat dalam contoh bahan biologik yang diambil dari tubuh pasien dengan menggunakan pencacah gamma (gamma counters) berbentuk sumur (sample counting technique)
Pada studi in vitro, dari tubuh pasien
diambil sejumlah tertentu bahan biologik
(misalnya 1 ml darah). Contoh bahan biologik
tersebut direaksikan dengan suatu zat yang
telah ditandai dengan radioisotop. Pemeriksaan
ini biasanya digunakan untuk mengetahui
kandungan zat tertentu dalam tubuh misalnya
hormon insulin atau tiroksin, obat jantung
(digitalis), dsb. Teknik RJA (Radioimmunoassay)
ini menggunakan alat pencacah
gamma berbentuk sumur untuk mencacah
radioaktivitas, demikian juga pe-meriksaan lain
yang termasuk studi in vitro seperti misalnya
uji proliferasi limfosit, uji sitotoksik dan
sitolitik, dsb.
Radioisotop yang dimasukkan ke
dalam tubuh pasien pada studi in vivo dan bisa
disebut radiofarmaka itu pada umumnya
terdiri dari dua komponen yaitu isotop
radioaktifnya sendiri dan senyawa pembawanya.
Radiasi yang dipancarkan oleh radioisotop
itulah yang membuat suatu radiofarmaka dapat
dideteksi dan diketahui lokasinya, sedang
senyawa pembawa menentukan tempat akumulasi
radiofarmaka tersebut. Untuk keperluan
diagnostik, radiofarmaka yang ideal adalah
yang radiasinya mudah dideteksi dengan
kualitas citra yang baik dan aman dari segi
proteksi radiasi serta dari segi toksisitasnya,
yaitu bila:
- Bertanda radioisotop pemancar radiasi foton murni dengan energi berkisar antara 100-400 keV dan mempunyai waktu paro pendek
- Stabil dalam bentuk senyawanya
- Mempunyai distribusi in vivo yang optimum, kontras antara organ yang diperiksa dengan bagian tubuh disekitarnya dapat diperoleh dalam waktu yang tidak terlalu lama
- Memenuhi persyaratan farmasetikal pada umumnya (steril, apyrogen, non-toksik, dsb.)
Hampir semua cabang
ilmu kedokteran dapat memanfaatkan peranan
kedokteran nuklir. Dalam praktek, kedokteran
nuklir biasa digunakan untuk menunjang
diagnosis penyakit-penyakit antara lain:
- tumor
- hiper atau hipofiingsi kelenjar yang memproduksi hormon (kelenjar gondok, pankreas, anak ginjal, dsb.)
- kelainan penyediaan atau aliran darah ke suatu alat tubuh (otot jantung, paru-paru, ginjal, dsb.)
- kelainan fungsi motorik alat tubuh (transit makanan dalam lambung, refluks urine, dsb.)
Dalam Kedokteran Nuklir, antibodi
monoklonal digunakan baik pada studi in vitro
(untuk deteksi petanda tumor) maupun pada
studi in vivo (imunosintigrafi) bahkan dewasa
ini sedang dikembangkan untuk radioimmunoterapi. Semua teknik ini menggunakan
prinsip immunologi, antibodi tumor akan
berikatan secara spesifik dengan tumor yang
berfungsi sebagai antigen.
Ide pencarian sasaran tumor oleh
antibodi sebenarnya telah dikemukakan sejak
tahun 1945. Namun, pada saat itu pengetahuan
mengenai metode immunologi belum semaju
sekarang. Pada saat itu, orang menggunakan
antibodi poliklonal maka kereaktifannya
terhadap jaringan tumor juga kurang spesifik.
Namun dengan penemuan teknik hibridoma
untuk pembuatan antibodi monoklonal oleh
Kohler dan Milstein maka dewasa ini
antibodi poliklonal praktis digantikan oleh
antibodi monoklonal. Antibodi monoklonal
yang dibuat dengan menggabungkan sel
limfosit-B dengan sel myeloma dalam media
polietilen glikol (PEG) membentuk sel
hibridoma; antibodi monoklonal kemudian
dapat desolasi dari kultur jaringan atau cairan
"monce ascites" dari hibridoma yang telah
diseleksi. Untuk keperluan studi in vitro, studi
in vivo maupun radioimmunoterapi maka
antibodi monoklonal perlu ditandai dengan
isotop radioaktif.
Suatu inovasi dalam terapi radiasi
tumor dewasa ini adalah penggunaan berkas
neutron untuk menyinari jaringan tumor yang
banyak mengandung boron (unsur yang sangat
efektif menangkap neutron). Melalui reaksi
B-10 (n,alpha) Li-7 dihasilkan radiasi alpha
yang akan diserap seluruhnya oleh jaringan
tumor. Salah satu metode yang dapat
digunakan untuk membawa boron secara
selektif pada jaringan tumor adalah dengan
menggabungkan boron dengan antibodi
monoklonal yang bereaksi spesifik dengan
antigen tumor.
“Yang bisa melakukan itu masih rumah sakit yang memiliki instalasi memadai. Beberapa diantaranya ada di Jakarta seperti RS Cipto Mangunkusumo, RS Pertamina, dan RS Dharmais,” tutur ahli penyakit dalam RS SMC Telogorejo dr Yan Wisnu Pradjoko Mkes SPB (k) Onk dalam diskusi kanker tiroid kemarin.
Menurutnya pengobatan dengan metode nuklir ini cukup ampuh juga belum ditemukan efek samping. Pasien cukup meminum obat yang merupakan inti sari nuklir dalam dosis sangat kecil. Meksi dosisnya kecil rangkaian radioaktif didalamnya berfungsi membabat habis sel kanker.
Yan menambahkan masyarakat tetap tak boleh berkecil hati untuk bisa sembuh dari kanker meski di Jawa Tengah belum ada RS yang menyediakan formula semacam itu. RS Telogorejo sebagai salah satu lembaga kesehatan yang peduli dengan masalah kanker akan memberikan pengobatan untuk pasien. Sejumlah pasien sudah banyak yang tertangani serta dinyatakan bertahan hidup (survivor) dari ancaman keganasan.
Sementara itu, mengenai kanker tiroid dia meminta masyarakat hati hati bila mendapati kemunculan benjolan di leher depan bagian bawah. Bisa jadi, itu awal gejala penyakit tiroid (gondok) yang bisa berujung keganasan. Menurutnya, apabila tidak terlambat diperiksakan ke dokter angka kesembuhan pasien masih sangat tinggi.
Sedangkan bagi yang sudah terlanjur menderita maka terapinya berbentuk pembedahan, kemoterapi hingga ablasi (penghancuran sisa-sia kanker tiroid). Banyak kasus tumor tiroid masuk klasifikasi keganasan derajad rendah (low grade) namun bila dibiarkan tanpa penanganan akan menyebar ke organ tubuh lainnya.
Aning, mantan penderita kanker kelenjar getah bening (survivor) mengatakan masih ada upaya sembuh untuk penderita kanker jenis apapun. Namun sebaiknya memang harus bisa mengenali gejala dini keganasan supaya bisa segera ditangani para dokter.
"Nuklir itu bisa dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan termasuk dalam bidang kesehatan," ujar Alvita Dewi, ahli pengobatan nuklir RSCM, Kamis, 11 Februari 2016. Ia menerangkan, nuklir telah dimanfaatkan sebagai pengobatan sejak 1940.
Ia menerangkan pemanfaatan nuklir di Indonesia masih terbatas, yakni hanya pada pengobatan kanker tiroid yaitu dengan iodium radioaktif dan untuk pengobatan hipertiroid (gondok). "Kalau di luar negeri terapi nuklir telah dimanfaatkan untuk berbagai penyakit kanker salah satunya limfoma," kata dokter muda ini.
Namun, lulusan Ilmu Kedokteran Nuklir di Universitas Padjadjaran ini mengatakan masyarakat masih merasa takut terhadap terapi ini karena nuklir dianggap berbahya dan dapat merugikan kesehatan. "(Nuklir) sudah terbukti keamanannya karena selama proses penggunaannya pasti ada penelitiannya. Apa saja efek-efeknya," ujar dia.
Terapi nuklir, ia menambahkan, tidak menimbulkan cacat bawaan atau mengganggu kesuburan seseorang. "Kita bandingkan orang yang tidak diterapi nuklir juga bisa keguguran. Tidak ada perbedaan yang bermakna," ujar Alvita.
Di Indonesia terapi nuklir dapat ditemukan di beberapa rumah sakit di Jakarta dan kota-kota besar lainnya. "Kalau di Jakarta ada di RSCM, RSPAD, Dharmais, RSPP, Siloam MRCCCC, Gading Pluit, dan beberapa kota seperti Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya dan Medan," tutur dokter berkaca mata ini.
Dengan begitu, ia berharap masyarakat yang divonis memiliki kanker tiroid bisa memanfaatkan pemeriksaan melalui terapi nuklir ini. Terlebih ia juga mengatakan sebagian besar terapi kanker saat ini bisa ter-cover oleh BPJS.
Hanya, terkadang fasilitas ini memiliki kendala. "Kapasitas sama jumlah pasien kita tidak sebanding jadi mengakibatkan antrian relatif panjang. Kamar kita terbatas tapi pasien banyak jadi terpaksa bergantian menggunakan fasilitas itu," ujar dia.
Ia menerangkan pemanfaatan nuklir di Indonesia masih terbatas, yakni hanya pada pengobatan kanker tiroid yaitu dengan iodium radioaktif dan untuk pengobatan hipertiroid (gondok). "Kalau di luar negeri terapi nuklir telah dimanfaatkan untuk berbagai penyakit kanker salah satunya limfoma," kata dokter muda ini.
Namun, lulusan Ilmu Kedokteran Nuklir di Universitas Padjadjaran ini mengatakan masyarakat masih merasa takut terhadap terapi ini karena nuklir dianggap berbahya dan dapat merugikan kesehatan. "(Nuklir) sudah terbukti keamanannya karena selama proses penggunaannya pasti ada penelitiannya. Apa saja efek-efeknya," ujar dia.
Terapi nuklir, ia menambahkan, tidak menimbulkan cacat bawaan atau mengganggu kesuburan seseorang. "Kita bandingkan orang yang tidak diterapi nuklir juga bisa keguguran. Tidak ada perbedaan yang bermakna," ujar Alvita.
Di Indonesia terapi nuklir dapat ditemukan di beberapa rumah sakit di Jakarta dan kota-kota besar lainnya. "Kalau di Jakarta ada di RSCM, RSPAD, Dharmais, RSPP, Siloam MRCCCC, Gading Pluit, dan beberapa kota seperti Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya dan Medan," tutur dokter berkaca mata ini.
Dengan begitu, ia berharap masyarakat yang divonis memiliki kanker tiroid bisa memanfaatkan pemeriksaan melalui terapi nuklir ini. Terlebih ia juga mengatakan sebagian besar terapi kanker saat ini bisa ter-cover oleh BPJS.
Hanya, terkadang fasilitas ini memiliki kendala. "Kapasitas sama jumlah pasien kita tidak sebanding jadi mengakibatkan antrian relatif panjang. Kamar kita terbatas tapi pasien banyak jadi terpaksa bergantian menggunakan fasilitas itu," ujar dia.
Terapi dengan dua jenis antibiotika yang berbeda, diyakini mampu mengobati dampak dari penyakit akibat paparan radiasi nuklir dosis tinggi.Kecelakaan atom seperti yang terjadi baru-baru ini di Fukushima, Jepang, membuat warga semakin mencemaskan kemungkinan terpapar radiasi dosis tinggi. Sebab sejauh ini tidak ada obat untuk dampak radiasi nuklir. Artinya peluang untuk terus hidup juga nyaris nol.
Sejumlah tim peneliti dari Amerika Serikat, kini sedang berusaha mengembangkan obat bagi dampak radiasi nuklir. Kementrian pertahanan AS mendukung proyeknya dengan dana jutaan Dollar. Metode pengobatan dengan dua jenis antibiotika yang berbeda, dilaporkan menunjukkan prospek cukup cerah.
Para peneliti dari AS meradiasi tikus percobaan dengan unsur radioaktif Kobalt. Tikus-tikus ini ibaratnya sudah dihukum mati, karena dipastikan tidak ada yang bisa bertahan hidup. Tapi 24 jam kemudian, para peneliti mulai memberikan pengobatan. Dua kali sehari, tikus-tikus yang terpapar radiasi nuklir itu diberi beberapa tetes obat antibiotika langsung ke dalam lambungnya. Selain itu, tikus percobaan ini juga diberi suntikan antibiotika jenis lain. Ujicoba dilakukan selama 30 hari.
Hasilnya diungkapkan oleh peneliti Ofer Levy dari rumah sakit anak-anak di sekolah tinggi kedokteran di Boston. “Kelompok tikus yang mendapat antibiotika, kondisinya secara signifikan membaik dan tetap hidup.“
Bersama dengan peneliti Eva Guinan dari institut riset kanker Dana-Farber di Boston, Levy ingin menemukan obat untuk menanggulangi penyakit akibat radiasi nuklir dosis tinggi.
Jika manusia atau binatang terpapar radiasi dosis tinggi, sel-sel tubuhnya ibaratnya melakukan bunuh diri massal. Sistem pencernaan mengalami kegagalan, dan sum-sum tulang belakang tidak lagi memproduksi cukup banyak sel-sel darah merah. Akibatnya, sistem kekebalan tubuh runtuh.
Tapi tikus-tikus percobaan di Boston itu dapat tetap hidup, karena diberi pengobatan dua jenis antibiotika yang berbeda. Gagasan mendasarnya, antibiotika membunuh bakteri. Dan bakteri memainkan peranan besar dalam penyakit akibat radiasi dosis tinggi.
Ofer Levy menjelaskan lebih lanjut : Radiasi antara lain berdampak merusak selaput lendir. Juga lambung bocor, dan bakteri yang normalnya berada dalam lambung masuk ke sirkulasi darah, yang bukan tempatnya.“
Di dalam sirkulasi aliran darah, bakteri dapat menyebabkan kerusakan besar. Eva Guinan dari insititut riset kanker Dana-Farber di Boston menjelaskan : “Dalam jangka pendek, bakteri memicu infeksi dengan semua dampaknya. Seiring waktu, bakterinya terus berkembang biak dan dapat memicu sepsis atau keracunan darah. Itulah masalah yang sebenarnya.
Untuk manusia sehat, sejumlah bakteri yang masuk ke sirkulasi darah, lazimnya tidak menimbulkan masalah. Setiap hari kita mengalaminya, misalnya ketika menggosok gigi, bakteri dari sikat gigi dapat masuk ke sirkulasi darah lewat gusi yang terluka.
Sel darah putih dapat membunuh bakterinya dengan cepat, dengan bantuan antibiotika dari tubuh sendiri-BPI. Antibiotika tubuh tidak hanya membunuh bakterinya, melainkan juga mencegah jangan sampai terjadi reaksi peradangan. Artinya, pada manusia yang sehat, bakteri dapat dimusnahkan nyaris tanpa masalah.
Akan tetapi pada manusia yang terpapar radiasi dosis tinggi kondisnya amat berbeda, kata peneliti dari rumah sakit anak-anak Boston, Ofer Levy : “Sistem kekebalan tubuh menjadi amat lemah akibat radiasi. Radiasi merusak sum-sum tulang belakang, dan dampaknya produksi neutrophile, yakni butir darah merah yang mengandung BPI berkurang drastis. Justru disaat kita memerlukannya untuk menyerang bakteri, kita tidak memilikinya.“
Para peneliti dari Boston melakukan ujicoba dengan menyuntikkan protein BPI ke dalam tubuh tikus yang terpapar radiasi dosis tinggi. Namun antibiotika alami tubuh itu saja tidak akan menolong tikus-tikus percobaan dari ancaman kematian. Karena itu harus ditambahkan pemberian antibiotika spektrum lebar konvensional. Hasil eksperimen, sekitar 75 persen tikus yang terpapar radiasi dosis tinggi dapat terus hidup.
Riset yang dilakukan Ofer Levy dan Eva Guinan, amat berbeda dengan riset yang dilakukan tim peneliti lainnya, yang mencari obat baru. Kedua peneliti justru memanfaatkan obat-obatan yang sudah digunakan secara luas. Antibiotika spektrum lebar telah digunakan sejak bertahun-tahun, untuk mengobati pasien yang mengalami keracunan darah atau sepsis. Atau juga pada pasien yang mengalami gangguan sum-sum tulang belakang. Diketahui, antibiotika bersangkutan ampuh dan relatif aman.
Juga BPI sudah digunakan pada 1.200 pasien yang sakit berat, dan metodenya juga diyakini aman. Karena itu, kedua peneliti merasa yakin dan optimis, metode terapi yang dikembangkannya, akan dapat menolong korban yang terpapar radiasi dosis tinggi.
Daftar Pustaka:
- http://www.iaea.org/inis/collection/NCLCollectionStore/_Public/31/065/31065368.pdf
- http://blog.nuklir.org/?p=3160
- https://gaya.tempo.co/read/news/2016/02/12/060744277/tahukah-anda-terapi-nuklir-bisa-bunuh-kanker
- http://www.dw.com/id/terapi-antibiotika-dampak-radiasi-nuklir/a-15735685
Nama : Raisha Adilla Kartika Rifca Setiawan
NIM : 4111171064
Komentar
Posting Komentar